![]() |
Achmad Nur Hidayat - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta |
Opini oleh Achmad Nur Hidayat - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Mengapa Indonesia Harus Membayar Begitu Mahal untuk
Penurunan Tarif?
Pada awalnya, publik Indonesia tidak mengetahui bahwa
Amerika Serikat di bawah Presiden Trump akan mengenakan tarif setinggi 32% atas
ekspor Indonesia.
Tarif itu diumumkan pada April 2025 sebagai bagian dari
"Liberation Day Tariffs" yang menargetkan lebih dari 20 negara.
Dalam daftar tersebut, Indonesia disebut akan terkena tarif
32%, mulai berlaku 1 Agustus 2025.
Tentu saja angka ini mengagetkan. Dalam sejarah hubungan
dagang Indonesia-AS, belum pernah ada tarif setinggi ini dikenakan secara
menyeluruh pada komoditas kita.
Seperti seorang pedagang pasar yang tiba-tiba menaikkan
harga tiga kali lipat, kebijakan ini seolah menutup pintu ekspor Indonesia ke
AS.
Namun, yang terjadi kemudian lebih mengejutkan. Setelah
surat ancaman tarif diterima, pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan AS.
Dalam waktu kurang dari tiga minggu, muncul kesepakatan
baru: tarif diturunkan menjadi 19%, asalkan Indonesia membeli produk-produk AS
dalam jumlah sangat besar, yaitu US$15 miliar energi, US$4,5 miliar produk
pertanian, dan 50 pesawat Boeing seri 777.
Seperti cerita rakyat tentang raja yang meminta upeti emas
dan berlian sebelum memberi izin dagang, inilah bentuk modern dari pemerasan.
Ancaman 32% menjadi alat tekanan, dan penurunan ke 19% dijual dengan harga yang
jauh lebih mahal.
Apakah Ini Kesepakatan yang Setara?
Dalam teori perdagangan internasional, tarif digunakan untuk
melindungi kepentingan nasional dan memperkuat posisi tawar domestik.
Namun, kesepakatan ini justru membuat Indonesia membeli
lebih banyak dari AS hanya demi tarif yang masih tetap tinggi.
Padahal barang-barang AS masuk ke pasar Indonesia bebas
tarif dan bebas hambatan non-tarif. Ini seperti pertandingan sepak bola di mana
Indonesia dipaksa bermain dengan sepuluh pemain, sedangkan AS bermain dengan
formasi penuh plus bonus penalti.
Kesepakatan ini bukan cerminan kemitraan strategis setara,
melainkan bentuk ketidakadilan struktural.
AS mendapat keuntungan ganda: menurunkan defisit
perdagangannya dengan menjual lebih banyak ke Indonesia dan tetap memungut
tarif impor 19% dari barang kita.
Seharusnya, negosiasi perdagangan yang adil adalah nol
persen versus nol persen: barang kita bebas masuk pasar mereka, barang mereka
bebas masuk pasar kita, sambil menjaga keseimbangan neraca dagang lewat
diversifikasi dan peningkatan nilai tambah domestik.
Namun, dalam kasus ini, Indonesia justru menyerahkan dua
instrumen sekaligus – pasar dan devisa – tanpa imbal balik strategis jangka
panjang.
Tarif 19 Persen Bukan Deal Besar, Tapi Kompromi Tekanan
Presiden Trump menyebut ini sebagai deal besar, padahal
hakikatnya hanyalah kompromi tekanan.
Tarik-ulur ancaman 32% yang diturunkan ke 19% setelah
Indonesia setuju membeli ratusan triliun rupiah produk mereka adalah bukti
taktik pemerasan perdagangan (trade extortion).
Seperti preman pasar yang meminta setoran keamanan sebelum
pedagang boleh berjualan, kebijakan ini tidak berdasar pada asas perdagangan
bebas dan keadilan global.
Trump menggunakan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia
sebagai justifikasi.
Namun narasi defisit itu menyesatkan. Amerika memang defisit
sekitar US$18 miliar dengan Indonesia, tetapi defisit ini adalah bagian dari
dinamika global value chain yang kompleks.
Banyak produk Indonesia yang diekspor ke AS mengandung
komponen impor AS atau negara lain.
Menggunakan defisit bilateral sebagai alasan tarif bukan
saja cacat logika, tetapi juga mengabaikan hakikat rantai pasok global. Lagi
pula, tujuan ekspor Indonesia adalah menjaga pertumbuhan ekonomi domestik,
menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat devisa – bukan menyeimbangkan
defisit perdagangan AS.
Dampak Negatif bagi Ekonomi Indonesia
Kesepakatan ini membawa risiko berat bagi perekonomian
Indonesia.
Pertama, impor dalam jumlah masif dari AS akan meningkatkan
tekanan pada neraca pembayaran dan neraca perdagangan Indonesia.
Pembelian energi US$15 miliar akan menambah beban devisa.
Pembelian produk pertanian US$4,5 miliar berpotensi menekan sektor pertanian
domestik, dari jagung hingga kedelai, karena kalah bersaing harga dan volume.
Sementara pembelian 50 Boeing berarti tambahan utang
maskapai nasional, atau menekan cashflow BUMN penerbangan yang selama ini terus
disubsidi negara.
Kedua, ancaman lapangan kerja. Tarif 19% akan menurunkan
daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS. Sektor padat karya seperti
tekstil, sepatu, dan elektronik berisiko mengurangi produksi, bahkan melakukan
PHK jika order AS berkurang akibat harga jual naik di pasar mereka.
Ketiga, inflasi dan ketahanan pangan. Jika neraca pembayaran
melemah akibat lonjakan impor dan lemahnya ekspor, rupiah berpotensi tertekan.
Pelemahan rupiah akan menaikkan harga barang impor lain, mendorong inflasi, dan
mengurangi daya beli masyarakat.
Membeli Perlindungan yang Mahal
Jika diibaratkan, Indonesia seperti pemilik toko kecil di
pasar tradisional yang dipalak preman setiap minggu.
Ketika preman menaikkan setoran keamanan dari Rp 100 ribu
menjadi Rp 300 ribu, pemilik toko terkejut dan menawar.
Preman setuju menurunkan menjadi Rp 200 ribu, dengan syarat
pemilik toko juga membeli air mineral, rokok, dan kupon arisan milik preman
setiap hari.
Akhirnya, beban biaya bulanan toko itu justru membengkak
melebihi kenaikan setoran awal. Demikianlah cara kerja kesepakatan tarif ini:
bukan perlindungan, melainkan pembelian keamanan semu dengan harga lebih mahal.
Apakah Ini Strategi untuk Kepentingan Nasional?
Kebijakan perdagangan yang benar adalah kebijakan yang
menyeimbangkan antara kepentingan ekspor, impor, dan pembangunan industri
domestik.
Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk menjaga
kedaulatan energi dan pangan, memperkuat industri manufaktur, serta memperluas
pasar ekspor non-tradisional agar tidak tergantung pada AS.
Kesepakatan seperti ini justru menambah ketergantungan pada
pasar AS di sisi ekspor dan produk AS di sisi impor. Ini bukan strategi cerdas
jangka panjang.
Bahkan jika AS menurunkan tarif menjadi 10% atau 5%
sekalipun dengan syarat kita membeli lebih banyak produk mereka, maka itu tetap
bukan win-win solution.
Mengapa? Karena menambah impor tanpa memperkuat produksi
domestik hanya akan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan dan
meningkatkan tekanan utang luar negeri.
Saatnya Negosiasi Berdaulat dan Strategis
Penurunan tarif dari 32% menjadi 19% oleh AS bukanlah
kemenangan diplomasi, melainkan hasil kompromi tekanan yang sarat pemerasan.
Ini bukan deal besar. Bukan pula cerminan kemitraan
strategis. Ini adalah bentuk ketidakadilan global yang hanya menguntungkan AS
secara eksklusif.
Kepentingan nasional Indonesia harus selalu ditempatkan di
atas narasi defisit perdagangan negara lain.
Seharusnya, diplomasi ekonomi Indonesia bertumpu pada
negosiasi setara dan strategi perdagangan yang memperkuat industri dalam
negeri, bukan menambah ketergantungan.
Dalam dunia perdagangan global hari ini, negara yang menang
bukanlah negara yang membeli lebih banyak agar tak dipalak tarif, melainkan
negara yang mampu memanfaatkan pasar luar negeri untuk memperkuat ekonomi
domestik dan menyejahterakan rakyatnya.
Inilah prinsip
kedaulatan ekonomi yang harus terus diperjuangkan oleh para pengambil kebijakan
di negeri ini.