Opini oleh: DENI HERMAWAN, S.H., M.H. - Ketua LBH HAPI Provinsi Jawa Barat
Konflik agraria di Indonesia adalah cerita lama yang tak pernah selesai, ibarat luka yang sudah bertahun-tahun terabaikan, tetapi selalu kembali berdarah. Di banyak daerah—termasuk Jawa Barat—masyarakat adat, petani, dan para penggarap masih saja harus menghadapi kenyataan pahit: tanah yang mereka rawat turun-temurun tiba-tiba diklaim sebagai “milik” perusahaan hanya karena selembar izin administratif.
Ironisnya, negara yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru sering tampil sebagai pihak yang memproduksi konflik itu sendiri. HGU, HGB, izin tambang, dan izin lokasi diterbitkan tanpa mempertimbangkan sejarah penguasaan tanah. Dalam logika administrasi, izin baru dianggap lebih kuat daripada tradisi yang sudah hidup ratusan tahun.
Padahal, pesan konstitusi sungguh jelas: tanah adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat—bukan untuk percepatan ekspansi modal yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Ketika Hak yang Hidup Dikalahkan oleh Dokumen yang Baru Lahir
Di lapangan, sengketa agraria hampir selalu mempertemukan dua hal yang bertolak belakang:
Hak adat, yang hidup dan dijaga secara turun-temurun.
Hak administratif, yang lahir dari keputusan pemerintah.
Namun sering kali, fakta sosial yang diwariskan leluhur dianggap tidak lebih dari cerita, sedangkan izin yang baru berumur lima tahun justru diperlakukan sebagai kebenaran tunggal.
Pertanyaannya sangat sederhana namun menyakitkan:
Bagaimana mungkin tanah yang sudah dihuni, ditanami, dan dikelola sejak generasi kakek-nenek disebut “ilegal”, sementara tanah yang diberikan melalui tanda tangan pejabat justru disebut “sah”?
Ini bukan hanya ketidakadilan.
Ini pelecehan terhadap logika hukum itu sendiri.
Negara Bukan Pemilik Tanah — Tapi Sering Bertindak Seolah Tuhan Tanah
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/2010 menegaskan: negara hanyalah pemegang mandat, bukan pemilik tanah. Negara tidak berhak membagi-bagikan tanah tanpa mempertimbangkan hak-hak rakyat yang sudah ada lebih dulu.
Namun kenyataannya berbeda jauh:
HGU diterbitkan di atas tanah garapan warga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana.
Izin tambang muncul tanpa konsultasi publik.
Keberadaan tanah ulayat diabaikan.
Warga dikriminalisasi ketika mempertahankan ruang hidupnya.
Di atas kertas, regulasi kita canggih.
Dalam praktik, keberpihakan justru menentukan siapa yang menang.
Fungsi Sosial Tanah: Prinsip Sederhana yang Hilang di Meja Perizinan
Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinya, tanah tidak boleh hanya dikuasai untuk kepentingan ekonomi sempit. Tanah harus membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Jika sebuah izin menyebabkan:
kemiskinan,
kerusakan lingkungan,
hilangnya sumber air,
tergusurnya masyarakat adat,
maka sesungguhnya izin itu sudah kehilangan dasar hukumnya.
Izin seperti itu bukan hanya bisa, tetapi seharusnya dibatalkan.
Sayangnya, logika sederhana ini sering tenggelam oleh kepentingan investasi yang hanya melihat tanah sebagai angka dan komoditas.
Aturannya Jelas, Tapi Keberpihakan yang Bermasalah
Dalam berbagai pengalaman advokasi di LBH HAPI Jawa Barat, pola ini selalu berulang:
konflik muncul bukan karena hukum lemah, tapi karena hukum tidak ditegakkan.
Konstitusi jelas.
UUPA kuat.
Putusan MK progresif.
Lalu mengapa rakyat tetap kalah?
Karena antara teks hukum dan praktik kekuasaan, terdapat jarak yang sangat lebar.
---
Reforma Agraria Bukan Slogan — Ia Harus Menjadi Keberanian Politik
Jika negara ingin memulihkan kepercayaan publik, langkah keberanian diperlukan. Bukan lompatan besar, tetapi fondasi yang kokoh.
1. Audit menyeluruh semua HGU, konsesi tambang, dan izin lama
Banyak izin diterbitkan tanpa kajian sosial dan lingkungan yang memadai.
2. Tegakkan Putusan MK 35/2012 tentang hutan adat
Hutan adat bukan tanah negara. Ini bukan konsep—ini kewajiban hukum.
3. Dahulukan rakyat, bukan kepentingan modal
Hak ulayat dan penguasaan historis tidak boleh dikalahkan oleh investasi instan.
4. Perkuat peran pengadilan
Hakim harus menimbang fakta sosial, bukan hanya memeriksa keabsahan dokumen administratif.
---
Penutup: Negara Harus Menjadi Pelindung, Bukan Makelar Tanah
Selama tanah dipandang sebagai sekadar objek izin, konflik agraria akan terus menghantui kita. Selama pejabat lebih sibuk memastikan kelancaran investasi daripada melindungi rakyat, keadilan hanya akan menjadi jargon.
Tanah bukan sekadar komoditas.
Tanah adalah identitas, ruang hidup, dan masa depan masyarakat.
Sudah seharusnya negara kembali pada peran utamanya:
penjaga keadilan, bukan perantara transaksi tanah.
Blogger Comment
Facebook Comment