BREAKING NEWS
Tampilkan postingan dengan label EKONOMI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EKONOMI. Tampilkan semua postingan

Bagaimana Mekanisme Mitra OJOL Menjadi Karyawan, Ini Kata Pakar



Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS),  Anthony Budiawan


JAKARTA - Status ketenagakerjaan yang tidak jelas, antara status karyawan dan karyawan-mandiri akan diulas oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)Anthony Budiawan.

 

Masalah status driver online (ojol) sudah lama diperdebatkan di dunia, apakah status mereka sebagai karyawan atau ‘karyawan mandiri’ (self-employed). Di Indonesia, status ojol malah dibuat lebih kompleks, dianggap sebagai ‘mitra’, tetapi kewajiban mereka pada prinsipnya adalah sama dengan karyawan.

 

Dengan status ketenagakerjaan yang tidak jelas, antara status karyawan dan karyawan-mandiri, dua driver online Uber (perusahaan penyedia taksi online) di Inggris mengajukan tuntutan kepada pengadilan Inggris untuk menetapkan status dan hak driver online Uber setara dengan karyawan,” ungkapnya, Sabtu (26/4/2025).

 

Melalui proses pengadilan yang sangat panjang sejak 2016, Mahkamah Agung Inggris akhirnya memutuskan pada awal 2021, bahwa status driver online di Inggris Raya harus disamakan sebagai (karyawan) ‘pekerja’, meskipun perusahaan menganggap mereka sebagai ‘karyawan-mandiri’ (self employed).

 

Putusan MA Inggris ini mempunyai implikasi luas di negara-negara Eropa lainnya, seperti Belgia, yang juga memutuskan bahwa status driver online disamakan dengan karyawan. Artinya, driver online mempunyai semua hak yang melekat sebagai karyawan seperti diatur di dalam undang-undang ketenagakerjaan, antara lain, seperti upah minimum, hak cuti, gaji ke 13, dan lainnya,” ujarnya.

 

https://www.pricebailey.co.uk/blog/supreme-court-ruling-uber-drivers-means-uk-employers/

https://www.brusselstimes.com/160480/dara-khosrowshahi-jitse-groen-rudi-vervoort-uber-drivers-win-labour-rights-in-uk-supreme-court-lawsuit-victory

 

Oleh karena itu, sudah selayaknya status driver online di Indonesia juga disetarakan dengan karyawan, sehingga mereka juga dapat memperoleh semua hak karyawan sesuai peraturan yang berlaku.

 

Hal ini juga untuk mencegah perusahaan penyedia taksi (tranportasi) online melakukan eksploitasi terhadap driver online dengan melakukan rekrutmen sebanyak-banyaknya, yang membuat pendapatan setiap driver online menjadi sangat rendah,” tegasnya.

Indonesia Akan Menambah Impor Dari Amerika Serikat?

 


JAKARTA – Kanal Youtube kuatbaca.com kali ini membuka diskusi soal benarkah Indonesia akan menambah impor dari Amerika Serikat yang dipandu pimpinan redaksi kuatbaca.com Jajang Habib dengan narasumber Managing Director PEPS, Prof. Anthony Budiawan yang tayang Senin (21/4/2025).  

 

Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam hubungan dagang global, terutama dengan Amerika Serikat. Posisi kita tidak sekuat negara seperti Tiongkok atau Kanada dalam merespons kebijakan perdagangan AS. Walaupun produk kita berbeda dari produk ekspor AS, kita tetap harus bersikap responsif, seperti yang dilakukan Vietnam. Bedanya, Vietnam punya nilai ekspor yang jauh lebih besar ke AS dan surplus perdagangan yang signifikan.

 

Permasalahannya, industri dalam negeri Indonesia belum cukup kuat untuk melakukan negosiasi yang efektif. Ekspor kita masih terbatas pada sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang juga bersaing ketat dengan negara lain seperti India dan Bangladesh. Ditambah lagi, dampak global dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Trump masih belum sepenuhnya dipahami.

 

Trump menggunakan tarif bukan sekadar sebagai hambatan perdagangan, tapi sebagai alat negosiasi untuk mendorong negara lain membeli lebih banyak produk AS. Tindakan ini menimbulkan ketegangan global, khususnya antara AS dan Tiongkok, yang berujung pada perang dagang saling balas tarif hingga ratusan persen. Untuk negara lain seperti Indonesia, jika tidak ingin dikenakan tarif tinggi, AS membuka ruang negosiasi, seperti menambah volume impor produk Amerika.

 

Vietnam merespons dengan menawarkan impor produk AS senilai 50 miliar dolar, sebagai cara untuk mengurangi defisit perdagangan AS terhadap mereka. Sementara itu, Indonesia juga melakukan pendekatan serupa, dengan menyatakan kesiapan mengimpor produk AS sekitar 18–19 miliar dolar untuk menyeimbangkan neraca dagang.

 

Pada akhirnya, Trump dinilai cukup cerdas memanfaatkan tarif sebagai taktik untuk membuka pasar bagi produk dalam negerinya. Ia tahu tarif tinggi tidak akan bertahan lama, tapi cukup untuk membuat negara lain membuka diri pada produk AS. Tujuan utamanya adalah memangkas defisit perdagangan dan memperluas pasar global bagi barang-barang Amerika.

 

Tarif yang dikenakan oleh Trump sebenarnya bukan untuk benar-benar dijalankan, melainkan sebagai alat tekanan atau efek gentar (deterrence). Tujuannya adalah untuk memaksa negara-negara lain agar bersedia bernegosiasi dan membuka pasar bagi produk Amerika. Trump tahu banyak negara akan memilih jalan negosiasi ketimbang berseteru langsung, karena potensi risikonya sangat besar. Namun bila tidak mau bernegosiasi, maka akan dikenakan tarif tinggi sungguhan.

 

Defisit perdagangan Amerika terhadap banyak negara, terutama Tiongkok, telah berlangsung lama dan jumlahnya sangat besar. Maka dari itu, Trump merasa perlu memperbaiki ketidakseimbangan itu, dan menjadikannya sebagai isu global, bukan hanya masalah AS semata.

 

Secara historis, sejak Perang Dunia II, Amerika mendominasi ekonomi global dengan surplus besar dan bahkan membantu pembangunan ekonomi Eropa lewat penghapusan tarif dan program Marshall Plan. Namun sejak tahun 1971 ketika sistem keuangan dunia tidak lagi berbasis emas (dollar tidak bisa dikonversi ke emas), Amerika mulai mengalami defisit besar secara terus-menerus karena bisa "mencetak" uang tanpa batas.

 

Indonesia juga mengalami fase serupa, terutama setelah krisis 1998 saat sistem nilai tukar berubah menjadi mengambang bebas. Akibatnya, rupiah mengalami depresiasi drastis karena spekulasi mata uang. Sistem keuangan saat itu sangat terbuka sehingga rentan terhadap serangan spekulatif.

 

Saat ini, meskipun sistem moneter Indonesia lebih tertata dan tidak bisa sembarang mengeluarkan dolar, ekonomi tetap melemah. Daya beli masyarakat menurun, terjadi deflasi berbulan-bulan sejak pertengahan 2024, dan banyak terjadi PHK. Hal ini diperparah oleh kebijakan tarif Trump yang bisa mendorong krisis lebih cepat, karena akan memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.

 

Rupiah sulit menguat meskipun cadangan devisa meningkat karena kondisi fundamental tetap lemah. Tanpa intervensi Bank Indonesia, nilai tukar bisa menembus Rp17.000 per dolar, dan kemungkinan besar itu hanya masalah waktu.

 

Dari sisi fiskal, penerimaan negara sangat rendah. Hingga Maret 2025, baru 14,7% dari target yang tercapai. Jika tren ini berlanjut, akan terjadi kekurangan penerimaan negara (shortfall) yang besar. Akibatnya, belanja negara harus dikurangi, yang berarti kontraksi ekonomi semakin dalam. Ini diperburuk oleh rendahnya investasi dan meningkatnya pengangguran, menjadikan kondisi ekonomi nasional semakin kritis.   Sumber link dialog  https://www.youtube.com/watch?v=759Uj5kKGCM

Apa Dampak Tarif Impor Trump Bagi Indonesia, Ini Kata Pakar


JAKARTA - Dampak Tarif Impor Trump bagi Indonesia menurut Pakar Ekonomi  Anthony Budiawan yang sekaligus sebagai Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) yang dipaparkan Sabtu (12/4/2025) adalah sebagai berikut.

 

Untuk sementara ini, semua negara dikenakan tarif impor (dasar) sebesar 10 persen. Tarif impor resiprokal yang besarnya berbeda-beda untuk setiap negara ditunda maka berlakunya selama 90 hari.

 

Dengan tingkat tarif impor yang besarnya sama untuk setiap negara, untuk semua produk, maka tidak ada dampak sama sekali terhadap persaingan usaha antar negara. Sebaliknya, pengenaan tarif impor dasar ini harus ditanggung importir dan konsumen dalam negeri Amerika: harga produk akan menjadi lebih mahal, memicu inflasi,” ujarnya.

 

Salah satu tujuan utama mengenakan tarif impor seharusnya untuk melindungi produk (industri) dalam negeri dari produk asing, khususnya akibat praktek persaingan yang tidak sehat (tidak fair). Misalnya, negara asing memberi subsidi terselubung kepada produk atau industri tertentu, atau melakukan ‘manipulasi’ nilai tukar.

 

Beberapa produk tertentu yang diimpor dari Indonesia, seperti tekstil, tidak bersaing dengan industri dalam negeri Amerika, karena produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, serta tidak ada produk substitusinya,” jelasnya.

 

Dalam hal ini, instrumen tarif impor yang tujuan awalnya untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, menjadi tidak berguna, alias mubazir,” ungkapnya.

 

Salah satu tujuan utama dari kebijakan tarif impor Trump adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS. Artinya, dengan dikenakannya tarif impor maka diharapkan impor akan berkurang, dan industri dalam negeri bisa bersaing dan bisa bangkit kembali. Ini yang menjadi dasar semboyan “Make America Great Again”: membangkitkan industri dalam negeri,” ujarnya.  

 

Tetapi, seperti dijelaskan di atas, untuk produk yang tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, tarif impor menjadi tidak berguna, dan tidak dapat untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS,” katanya..

 

Penundaan tarif impor Trump hanya berlaku untuk tarif resiprokal di mana Indonesia dikenakan 32 persen, selama 90 hari.

 

Penundaan masa berlaku tarif resiprokal tersebut untuk memberi kesempatan kepada setiap negara agar bisa melakukan negosiasi dan kompromi, dengan sasaran agar defisit neraca perdagangan antar Amerika dan negara mitra dagang dapat diperbaiki (dikurangi),” ungkapnya.

 

 

Wartawan Ditahan, Penjual Rokok Ilegal Dibeckingi Oknum, Kapolres Cilacap Tak Bergeming

 


Cilacap, kabarSBI – Kasus dugaan pemerasan yang melibatkan dua wartawan di Cilacap, SJ dan ZL, berbuntut panjang.  Aliansi Solidaritas Media Online Jawa Tengah, bersama Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT) dan Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Jawa Tengah, mengecam keras peristiwa ini dan mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan. 

 

Kasus ini mencuat setelah Jajang Hidayat, penjual rokok ilegal yang juga disebutkan sebagai korban dan pelapor dalam konferensi pers Kapolresta Cilacap yang tayang di Detikjateng,25 Maret 2025,  melaporkan dua wartawan tersebut atas dugaan pemerasan senilai Rp 5 juta.

 

Sementara saat dihubungi oleh Sekertaris Umum GMOCT Asep NS, Kapolresta Cilacap bungkam seribu bahasa, tidak menjawab sama sekali pertanyaan yang dilontarkan perihal kenapa Jajang Hidayat selaku korban dan pelapor yang juga penjual rokok tanpa cukai tidak diproses.

 

Aliansi menyatakan keprihatinan mendalam atas kasus ini, yang tak hanya menjadi sorotan di Jawa Tengah, namun juga di luar daerah.  Mereka meminta Polresta Cilacap untuk bertindak tegas dan adil, tak hanya terhadap dua wartawan yang dilaporkan, namun juga terhadap Jajang Hidayat yang diduga melanggar hukum dengan menjual rokok ilegal.

 

Angger Suhodo, perwakilan Aliansi Solidaritas Media Online Jawa Tengah, menegaskan bahwa penjualan rokok ilegal merupakan pelanggaran serius yang diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang No 39 Tahun 2007 tentang Cukai.  Ancaman hukumannya cukup berat, yakni pidana penjara 1-5 tahun dan/atau denda 2-10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. 

 

“Surat aduan telah disampaikan ke Polresta Cilacap, Kanwil Bea dan Cukai, Polda Jawa Tengah, dan Kejaksaan Tinggi Semarang,” ujarnya.

 

Dugaan tindak pidana penyaluran rokok ilegal tanpa pita cukai oleh Jajang Hidayat juga ditemukan.  Menurut Aliansi, hal memperkuat dugaan adanya pelanggaran pidana pemerasan disertai pengancaman (Pasal 368 KUHP) yang melibatkan SJ dan ZL.

 

Ketua DPW IWOI Jateng, Teguh Supriyanto, yang turut menandatangani surat aduan, berharap penegak hukum tidak tebang pilih dalam menangani kasus ini.  Ia menekankan pentingnya pemberantasan kegiatan ilegal agar tidak merajalela dan pelaku tidak kebal hukum. 

 

Dukungan penuh juga disampaikan oleh Ketua Umum GMOCT, Agung Sulistio.  Ia menyatakan GMOCT mendukung penuh upaya DPW IWOI Jateng untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk menindak Jajang Hidayat atas dugaan pelanggaran penjualan rokok ilegal.  Agung menekankan pentingnya proses hukum yang adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat.

 

Aliansi Solidaritas Media Online Jawa Tengah, GMOCT, dan IWOI Jateng berkomitmen untuk mengawasi perkembangan kasus ini dan memastikan keadilan ditegakkan.  Mereka berharap kasus ini menjadi momentum untuk membersihkan praktik-praktik ilegal di Cilacap dan melindungi integritas industri media.

 

Hingga berita ini diturunkan, Kapolresta Cilacap tidak memberikan statement alias bungkam seribu bahasa.

Pola Belanja BI Boros, 1 Miliar Dolar AS Hanya Menguatkan Maksimal 0,5 persen Selama 1- 2 Hari



JAKARTA, cyberSBI - Upaya intervensi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah menimbulkan beban biaya yang besar.  Nilai tukar rupiah pada akhir tahun semestinya dapat kembali di kisaran Rp 16.000 per dollar AS apabila diikuti dengan reformasi struktural.

 

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berpendapat, biaya intervensi yang dikeluarkan oleh BI untuk stabilitasi nilai tukar rupiah termasuk mahal. Namun, upaya tersebut terbilang sia-sia karena pada akhirnya rupiah tetap melemah.

 

Siswa- siswi TK melakukan kunjungan ke Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Senin (30/1/2023). Kegiatan edukasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai keuangan dan investasi di pasar modal sejak dini.

 

Pada 27 Maret 2025, rupiah dibuka di level Rp 16.590 per dollar AS atau lebih kuat 0,1 persen dari penutupan sebelumnya, setelah BI menghabiskan 1,6 miliar dollar AS untuk mengintervensi pasar spot dalam tiga hari terakhir. Rupiah pun kembali melemah ke level Rp 16.640 per dollar AS pada sesi siang.

 

”Data ini mengonfirmasi pola boros BI. Setiap 1 miliar dollar AS yang dihabiskan untuk intervensi langsung hanya mampu menguatkan rupiah maksimal 0,5 persen dan efeknya lenyap dalam 1-2 hari,” kata Achmad, Minggu (30/3/2025).

 

Setiap 1 miliar dollar AS yang dihabiskan untuk intervensi langsung hanya mampu menguatkan rupiah maksimal 0,5 persen dan efeknya lenyap dalam 1-2 hari. Sejak Januari 2025, BI telah menghabiskan 4,5 miliar dollar AS atau 3 persen dari total cadangan devisa.

 

Ini tampak dari penurunan akumulasi cadangan devisa per Februari 2025 yang turun menjadi 154,5 miliar dollar AS dari 156,1 miliar dollar AS pada Januari 2025. Ditambah pula biaya intervensi 1,6 miliar dollar AS-3 miliar dollar AS pada Maret 2025.

 

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/libur-lebaran-dan-depresiasi-rupiah-yang-melebar

Indikator Ekonomi Merah, Ilusi di Atas Kertas Atau Ternyata Lesu?


JAKARTA,cyberSBI – Perbincangan kanal Youtube kanalbaca.com dengan pewancara Jajang Yanwar Habib dengan narasumber  Prof. Anthony Budiawan pada Kamis (27/3/2029) membahas dengan melihat indikator makro perekonomian, perkembangan ekonomi terkini.

 

Fluktuasi rupiah dalam nilai tukar terhadap dolar semakin melemah. Levelnya sudah melewati posisi 16 ribu sekian, bahkan dimungkinkan menembus angka 17 ribu. Angka psikologis mana pun sudah lewat, lalu ada namanya bursa efek. Kita kemarin sempat di hold perdagangannya oleh otoritas bursa.

 

Kemudian itu menandai sebuah sentimen negatif. Yang kemudian beriringan, yang kalau dibaca itu beriringan terhadap kegiatan sebelumnya. Yaitu apa? Statemen pembentukan Danantara.

 

Kemudian juga ada beberapa statement mengenai kegiatan yang sifatnya pemerintah memberikan subsidi kepada pemerintah dalam bentuk makan bergizi gratis. Kemudian ada lagi soal pertanyaan pemerintah menginjot pajak gitu kan. Akhirnya pasar kita mengalami sentimen yang cukup keras.

 

Nah, kami mencatat di bursa itu ada capital outflow oleh investor asing sebanyak Rp886 miliar dalam 2 bulan setengah terakhir. Kemudian ada indikator yang lain mengenai cadangan devisa Rp156 miliar USD sekian turun 0,4% di bulan lalu. Namun pemerintah mengklaim bahwa kita masih aman.

 

Cukup untuk membiayai setara dengan 6,7 bulan impor. Lalu kemudian indikator yang lain menyebutkan bahwa sumber fiskal kita kayaknya ini lagi ngos-ngosan. Kalau lihat ya, 2023 ke 2024 kita udah turun. Ngedropnya sekitar rasio penerimaan pajak dari 10,31 ke 10,07.

 Terjadi penurunan.

 

JY: Bagaimana kemudian di tahun ini? Mengawali tahunnya saja kemudian terjadi penyelesaian yang cukup a lot.

 

Prof: Pertama adalah mengenai penerimaan pajak ya. Penerimaan pajak ini tax ratio tadi 10,3 pada tahun 2023. Kemudian tahun 2024 sudah sekitar 10 persen. Yang terendah itu adalah 2019 sebelum Covid itu sudah 9,8 persen.

Jadi kalau dari 2014 itu tax-nya rasio pajak dari 10,85 persen terus turun menjadi 9,8 persen dalam 5 tahun. 2015 ke 2019. Kita ada sedikit windfall profit, kenaikan harga komoditas yang sehingga menaikkan kita punya rasio pajak. Dan itu pun naik hanya menjadi 10,4 persen gitu.

 

Sedikit lah. Nah kemudian sekarang ini sudah mendekati level di 2019. Berarti 2025 ini kita perkirakan, saya perkirakan ini rasio pajak kita akan turun.

 

Dari di bawah 10 persen. Mungkin bisa 9,5 persen. Lebih rendah dari level 2019.

 

Dari 2019 yang 9,8 persen. Tentu saja ini mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan dalam arti kita punya fiskal ini sudah tidak terlalu kuat lagi untuk membiayai kita punya kebutuhan. Artinya defisit bisa meningkat. Atau kalau defisit tidak meningkat, belanja negara harus turun. Nah ini menunjukkan, memicu atau memberikan destimulus, memicu dari aktivitas ekonomi akan turun.

 

Untuk menjaga itu, bagaimana pemerintahan Prabowo sekarang ini kan mau menaikkan pajak sampai nantinya, sampai sekitar pajaknya 18 persen, penerimaan negaranya sampai 23 persen. Penerimaan negara itu termasuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

 

Kalau pajak itu diperkirakan antara 15 persen sampai 18 persen. Ini tantangan besar. Kalau di awal 2025 dia turun menjadi 9,5 persen rasio pajaknya, maka dapat dipastikan bahwa rasio pajak yang diinginkan itu tidak mungkin bisa tercapai.

 

Kalau mau tercapai dari aktivitas ekonomi itu sangat sulit. Aktivitas ekonomi kenaikan pajaknya itu sangat sedikit sekali. Kecuali seperti kemarin, kita mendapat mean for profit, harga komoditas naik melambung tinggi.

 

JY: Ada satu datanya, PPH badan itu turun sekian persen. Penurunannya itu lumayan jadi Rp335,8 triliun. Penurunan ini karena profitabilitas korporasi terus menurun. Ini dari statement otoritas. Tentu saja bahwa kita lihat aktivitas ekonomi ini dari tahun 2024, pertengahan itu sudah turun terus. Aktivitas ekonomi kita lihat dari angka inflasi, deflasi.

 

Prof: Dari Mei 2024 turun terus. Terjadi deflasi sampai September 2024. Februari sekarang, jadi total Januari-Februari, itu juga terjadi deflasi.

 

Pasti aktivitas ekonomi turun, pasti PPH badan itu juga turun. Itu pertama. Kemudian dari aktivitas pajaknya, kalau kita lihat bahwa penerimaan negara itu turun dari badan, kita juga bisa lihat bahwa banyak sekali perusahaan-perusahaan yang terjadi PHK. Itu juga pastikan PPH badannya pasti turun. Kalau PHK itu berarti dia tidak ada profit atau bahkan gulung tikar. Ini masalahnya.

 

Jadi kita bisa maklumi bahwa dampaknya adalah, sudah bisa diperkirakan dampaknya adalah penurunan dari PPH secara keseluruhan. Kalau kita lihat sampai dengan Februari, ini lebih memprihatinkan pokok PPH ini penerimaan pajaknya itu turun sampai 30%. Ini yang sangat memprihatinkan.

 

Sampai dengan Februari turun 30%. Jadi kita perkirakan memang sampai dengan Desember itu penerimaan pajak itu tidak sesuai dengan tidak bisa mencapai target. Artinya targetnya terlalu optimistis? Saat itu bisa dibilang begitu, terlalu optimistis.

 

Atau kalau tidak terlalu optimistis, berarti aktivitas ekonomi tidak sesuai dengan harapan sewaktu menyusun APBN. Sebetulnya APBN mengatakan begini, tapi kenyataannya tidak begitu. Itu bisa juga antara mengantisipasinya.

 

Sebetulnya APBN ini bisa bilang, oke saya tahu bahwa aktivitas ekonomi akan turun, tetapi dengan kebijakan-kebijakan antisipatif, berarti kita bisa menaikkan lagi aktivitas ekonomi sehingga penerimaan pajak itu mereka yakin itu bisa terjadi. Ini kita lihat bulan-bulan ke depan apakah itu yang terjadi atau tidak.

 

Yang kedua? Kondisi moneter. Terus saham. Saham dan nilai tukar mata uang. Nah saham dan nilai mata uang. Sekarang kita bicara saham dulu. Saham juga dari puncaknya itu sekitar tahun lalu September.

 

Dan sudah turun kalau kita lihat, mungkin indeks saham sudah turun dari 6.600 menjadi sekarang ini sekitar 6.100. Berarti memang sudah turun cukup tinggi. Nah ini sejalan dengan aktivitas ekonomi. Jadi kalau kita lihat harga saham ini kan sebetulnya antisipasi dari aktivitas ekonomi ke depan.

 

Kalau kita optimis terhadap aktivitas ekonominya akan bagus, akan naik, maka harga saham akan mengikuti. Ketertarikan untuk investasi. Jadi investor akan bilang, oke ini perusahaan bagus, ini perusahaan ini.

 

Tapi kalau dia turun terus, prospeknya turun, maka pasti investor bilang, sudah saya akan investasi di tempat lain. Mungkin masuk ke surat hutang negara, berpindah kalau mereka ada uang. Kalau investor asing, dia mungkin akan melihat di negara mana yang ada investasi yang masih bagus.

 

Jadi bursa saham itu sudah mencerminkan. Sekarang yang dikatakan Mas Jajang itu kan bahwa ada tiba-tiba drop. Nah ini juga apakah ketika itu dikatakan, sebetulnya kita sudah antisipasi bahwa ke depan ini bursa, saya masih melihat bahwa aktivitas bursa ini masih turun.

 

Hari ini bursa juga ternyata naik juga. Naiknya cukup tinggi. Kalau nggak salah, hampir 1,4%-1,5%. Ini tanggal 25 Maret ya? Tanggal 25 Maret. Ya hari ini cukup tinggi gitu naik. Setelah kemarin drop sekitar juga 1,4 sekian persen juga.

 

1, sekian persen. Nah jadi ini up and down lah. Jadi begitu ada yang ini, tapi memang yang mengejutkan adalah kalau sampai memicu automatic trading halt.

 

Nah itu yang cukup mengejutkan. Tapi ya kemudian ada berbalik lagi. Tapi begini, tren jangka panjang ini kalau tidak ada kebijakan ekonomi yang mumpuni, yang bisa memberikan kepercayaan kepada investor bahwa aktivitas ekonomi kita akan naik, ya trennya akan turun.

 

Nah jadi gitu. Nah yang kedua adalah, yang kemudian adalah mengenai nilai tukar. Yang lebih memprihatinkan adalah nilai tukar.

 

Nilai tukar ini sekarang sudah tembus Rp16.600. Tadi hampir menekati Rp16.650. Transaksinya sempat menekati itu. Sekarang ditutup sekitar Rp16.590-an. Ya kurang lebih lah ya. Sekarang sudah hampir close.

 

Nah ini mau sampai berapa? Apakah akan menekati Rp17.000? Dan dulu kita sudah ekspektasi ini akan menekati Rp16.500, terus kemudian Rp17.000. Dan kita tidak melihat apa yang bisa dilakukan oleh Bank Indonesia. Tadi sempat ada beberapa, ya saya sebutnya intervensi kali ya untuk membawa itu menyarik ke bawah. Artinya supaya Rupiah menguat, tetapi kemudian ya cuma segitu saja.

 

Tidak bisa mempertahankan di bawah Rp16.500 atau bahkan di bawah Rp16.000, kembali ke Rp16.000. Itu masih tetap Rp16.000, sekitar Rp16.600. Ini dampaknya sangat besar. Apalagi kalau bisa sampai Rp17.000. Ini cukup serius. Cukup serius artinya gini, utang luar negeri kita ini sangat besar sekali.

 

Dan naik terus gitu. Kalau nggak salah per Februari itu sudah Rp427 miliar. Dari sebelum-sebelumnya naik setiap tahun 5-6%, 7%, 8% gitu. Itu naik terus. Pertanyaannya kenapa utang luar negeri itu naik terus? Nah ini kan yang memicu kurs Rupiah akan terdepresiasi terus. Kalau utang luar negerinya tertahan, tidak masuk atau bahkan keluar, ini Rupiah pasti terdepresiasi.

 

Jadi Rupiah ini sekarang ini hanya tergantung dari berapa besar utang luar negeri kita masuk. Utang luar negeri itu artinya dia bisa masuk ke saham, investasi, disebutnya investasi, tapi secara portfolio kita harus melihatnya itu utang. Karena dia akan bisa menjual kembali itu saham untuk dia tarik kembali.

 

Meskipun instrumennya adalah instrumen saham, tetapi bagi negara-negara itu outflow artinya itu adalah utang. Yang dia kalau menjual sahamnya dia akan kembalikan. Akan balik lagi itu uang.

 

Jadi saham maupun surat berharga negara. Nah ini yang sangat serius. Ini komponen yang ada di dalam cadangan devisa.

 

Tadi sudah monitor fiskal, nah ini dari keduanya. Kemudian ada di, kita melihat tetap cadangan devisa. Salah satu komponen di dalam cadangan devisa itu ternyata adalah transaksi kita terhadap utang, akses kita terhadap utang.

 

Itu berapa persen di dalam komposisi cadangan devisa? Kalau kita lihat utang luar negeri kita, pemerintah saja itu sudah lebih dari 200 miliar. Pemerintah dan Bank Indonesia lebih dari 200 miliar. Mungkin dengan BUMN itu bisa 60 persen.

 

Anggapnya pemerintah dengan Bank Indonesia sendiri itu bisa mencapai 240-250 miliar. Angka terakhirnya saya agak lupa. Tapi pasti lebih tinggi dari 200 miliar ke atas.  Kita punya cadangan devisa cuma 154,5 miliar per Februari. Jadi artinya apa? Artinya kita punya utang luar negeri sudah jauh lebih rendah dari cadangan devisa. Jadi kalau dia keluar sedikit saja itu, utang luar negeri, ditarik saja sedikit. Ini kelimpungan.

 

Jadi artinya apa? Artinya 154 miliar ini cadangan devisa ini lebih banyak milik dari pribadi-pribadi. Apa itu? Pemasaran yang ada dolar, seribu dolar, itu masuk ke cadangan devisa. Jadi itu termasuk yang di 154 miliar. Individu-individu ini, ini yang lebih banyak memiliki USD itu. Artinya itu memang kepemilikan masyarakat terhadap uang dalam bentuk dolar.

 

Ya itu. Dia kan eksportir. Dia memiliki itu. Dia yang memiliki. Jadi bukan pemerintah. Pemerintah sendiri sebetulnya sudah habis. Karena dia utang. Lalu apalagi Bank Indonesia utangnya dari 2019 itu hanya sekitar 3 miliar dolar. Kemudian 2024 ini naik menjadi hampir 30 miliar dolar.

 

Jadi hidup kita ini memang rupiah ini memang hanya dari itu. Utang masuk, lalu intervensi menguat sedikit, begitu lagi. Karena fundamental ekonomi kita itu sangat lemah sekali.

 Artinya transaksi berjalan kita defisit. Transaksi berjalan defisit itu mau tidak mau rupiah itu akan tertekan. Karena outflow ke luar negeri itu sangat besar sekali.

 

JY: Tekanan fiskal dilihat dari risiko fiskal, risiko ekonomi makro, risiko utang pemerintah pusat, sama kewajiban contingent pemerintah pusat, sama risiko pengeluaran pemerintah yang dimandatkan. Mandatory spending. Tidak banyak risetnya. Sewaktu zaman Pak Harto penerimaan rasio pajak kita itu cukup tinggi. Tapi setelah reformasi, penerimaan negara itu hancur. Tapi kemudian peaknya meningkat-meningkat lagi sampai tahun 2008.

 

Prof: 2008, rasio perpajakan kita terhadap PDB itu 13,3%. Kenapa sekarang dari 2008 turun terus? Ini masalah utamanya adalah undang-undang PPH tahun 2008. Pada saat itu kebetulan Menteri Keuangannya masih Sri Mulyani juga pada saat itu. Undang-undang itu yang namanya dulu ada Sunset Policy tahun 2008 menyebabkan dari 13,3% pada tahun 2008, terus rasio pajak turun sampai tahun 2014 tadi 10,85%. Dan terus 2019- 9,8%.

 

Jadi terus turun. Dan itu masalahnya adalah di undang-undang perpajakan pada tahun 2008 yang membuat itu. Artinya kalau kita mau menaikkan ini, itu undang-undang itu harus dikembalikan.

 

Sebenarnya sangat mudah sekali. Di dalam undang-undang perpajakan itu, insentif-insentif itu diberikan kepada banyak sekali kepada perusahaan yang membayar pajak sangat besar sekali.

 

Itu sehingga kenaikan pajak secara persentase jauh kalah dari pertumbuhan ekonomi. Sehingga rasionya kalah dari pertumbuhan PDB. Sehingga rasionya itu menjadi mengecil.

 

Jadi undang-undang perpajakan PPH tadi, sunset policy ini, jadi betul tahun 2008 dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan. Enggak hanya itu saja, itu banyaklah insentif-insentif itu. PPH badan diturunkan untuk daya saing.

 

Itu waktu menjadi 25 persen dari 30 persen menjadi 25 persen. Terus kemudian diturunkan lagi menjadi 22 persen. Sekarang baru 20 persen kalau nggak salah ya.

 

Dan kemudian juga PPH pribadi dikurangin dan sebagainya. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Nah kenyataannya, faktanya pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan. Sehingga penerimaan pajak dari pengurangan pajak tadi lalu kemudian diharapkan dari kenaikan ekonomi, kita mendapatkan kenaikan pajak, bisa substitusi dari kekurangan tadi tidak tercapai. Sehingga kita punya penerimaan pajak terhadap PDB terus turun. Tergerus…

 

Jadi artinya insentif pajak yang diharapkan tidak sesuai dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ya, oke. Nah tetapi kenyataannya kok PPH pasal 21, PPH pajak karyawan kok melesat 21 persen di tahun 2024? Angkanya 243,8 triliun.

 

Artinya kok yang dieksploitasi untuk mengisi sumber penghasilan pajak, kok dari PPH gaji? Ya, mungkin PPH 21 itu kan pasti selalu tiap tahun naik karena Kenaikan UMR? Kenaikan UMR dan semua karyawan juga naik mengikuti dari inflasi tadi. Setiap karyawan ada promosi, pasti naik. Dan juga jumlah tenaga kerja juga naik secara umum.

 

Jumlah tenaga kerja naik berarti pendapatan PPH 21 penghasilan itu berarti naik. Terus yang komponen kedua adalah kenaikan dari gaji, dari setiap orang. Kenaikan UMR dan kenaikan gaji-gaji yang lain.

 

Dengan promosi dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi saya tidak tahu angkanya perlu dianalisa lagi apakah itu year on yearnya itu 30 persen itu sebetulnya adalah merepresentasikan tahun-tahun sebelumnya atau apa. Nah ini, apakah itu juga termasuk PPH, kalau berarti PPH 21 ya ini ya, berarti penghasilannya aja kan gitu.

 

Saya ini, tetapi kalau kenaikan ya pasti setiap tahun naik. Tapi seberapa besar kita tidak tahu. Kalau sampai terlalu besar lagi ya apakah, tadi tarif sebetulnya tidak naik, tarifnya.

 

Tapi gaji kita yang naik itu dibebankan. Menjadi itu. Oke jadi permasalahannya kalau kita rangkum dari sisi fiskal adalah tadi ya, kita negara tidak mampu menghimpun sumber penghasilan dari pajak ini karena aktivitas ekonominya ternyata tidak bertumbuh.

 

JY: Stimulasi dengan sunset policy sejak 2008. Apakah sebaiknya pemerintah sekarang mencabut kebijakan sunset policy dan mengembalikan pajak badannya ke angka semula, kemudian juga deregulasi lagi dari kebijakan 2008?

 

Prof: Tapi di dalam beberapa hal mungkin bisa dilakukan, harus selektif misalkan sektor-sektor tertentu, tapi saya tidak mau promosikan nanti pajak mana yang akan naik, nanti saya dari sektor-sektor itu dibilang, wah ini apa deh, memprovokasi pajak naik, artinya bisa dievaluasi menurut keadilan saja.

 

Keadilan artinya kalau memang ini profitnya terlalu besar harusnya adalah dipajaki lebih besar. Itu kan prinsip dari pajak progresif. Prinsip dari pajak progresif kita mengerti semua, bahwa kalau profitnya besar ya dipajaki, persentasinya pun lebih besar.

 

Jadi itu normal saja. Tetapi yang saya mau katakan adalah, bahwa kebijakan ekonomi sejak 2008, sebetulnya peningkatan ekonomi ada, karena kita ada pertumbuhan 5%, 5%, 5%. Peningkatan ekonomi ini tidak sesuai dengan apa yang ingin distimulasi.

 

Stimulusnya adalah kalau 2008, kita mau stimulus ekonomi agar dia naik, tetapi kenyataannya sampai dengan 2014, misalnya kita lihat dari periode SBY lah ya, 2009 ke 2014, kenaikan ekonomi ini tidak setinggi dari yang diharapkan dari kenaikan pajak. Kenaikan pajaknya ya. Kenaikan pajaknya tidak diharapkan, tidak seperti yang diharapkan dari insentif tadi.

 

Jadi pemberian insentif itu lebih besar dari diskrepansi atau incremental dari pendiriman pajak itu. Sehingga ini tidak mencukupi, sehingga tax ratio-nya turun. Kalau pertumbuhan ekonominya misalnya mungkin 8%, bukan 5% misalnya, jadi ini tertutupi.

 

Jadi targetnya adalah kita memberikan insentif mau meningkatkan ekonomi kasarnya 8%, tapi yang tercapai cuma 5%. Ya rasio pajaknya turun. Kalau saya jadinya kepikiran gini, ini pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dikasih bahan baku stimulus.

 

Tapi ternyata tidak cukup efektif, artinya bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras, bagaimana bisa menciptakan pertumbuhan itu.

 

Nah sekarang, pemerintahan sekarang menginginkan pertumbuhan ini 8%. Kita lihat. Kalau dia pertumbuhan 8%, itu akan berdampak kepada tax ratio tadi. Tax ratio-nya memang akan naik. Itu memang sejalan. Tetapi kalau pertumbuhan 8% ini tidak naik, tidak tercapai, maka tax ratio itu turun.

 

Link sumber : https://www.youtube.com/watch?v=UsDFwAcozXg

Waspada! Rupiah Bisa Anjlok Hingga Rp17.000 per dolar AS, Lebih Buruk Dari Krisis 1998

 


JAKARTA , cyberSBI– Channel Youtube Forum News Network yang dipandu Hersubeno Arif menampilkan narasumber pengamat ekonomi Anthony Budiawan yang juga Managing Director PEPS kali ini membahas melemahnya harga saham di bursa.

 

Dalam dua pekan terakhir, banyak yang mulai memperhatikan pergerakan saham, meski biasanya tidak tertarik. Begitu rupiah melemah, banyak orang langsung bereaksi.Menariknya, setelah sempat melemah pada 18 Maret 2020, pagi ini (26 Maret 2020) terlihat tanda-tanda penguatan rupiah dan IHSG. Apakah ini hanya fluktuasi sementara seperti roller coaster atau ada hal yang lebih serius?

 

Antoni menyatakan bahwa fluktuasi pasar saat ini sangat tinggi. IHSG sempat mencapai puncaknya di angka 7.905 pada September 2024 dan kini turun hingga 6.300, artinya ada penurunan sekitar 27%. Meski ada penguatan harian, tren penurunan masih terlihat, menunjukkan ekonomi dalam tekanan serius.

 

“Saat ini belum ada kebijakan struktural dari pemerintahan Prabowo yang dapat memperbaiki fundamental ekonomi secara signifikan. Defisit anggaran yang terjadi sejak awal tahun menjadi tanda lemahnya ekonomi, terutama karena penurunan penerimaan pajak yang mencapai 30% dalam dua bulan terakhir. Daya beli masyarakat turun drastis, terlihat dari deflasi harga makanan menjelang Ramadan,” ujarnya,  Rabu (26/3/3035).

 

Ia menjelaskan dari sisi moneter, tren pelemahan rupiah tampak jelas sejak Perry Warjiyo memimpin Bank Indonesia. Kurs rupiah yang sebelumnya di angka Rp14.000 kini melemah hingga Rp16.600, bahkan menurut Antoni, bisa mencapai Rp17.000 jika tidak ada kebijakan signifikan. Hal ini terjadi karena defisit transaksi berjalan, ketergantungan pada modal asing, dan utang luar negeri yang semakin besar.

 

Antoni menjelaskan bahwa cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai USD 154,5 miliar, namun sebagian besar terbentuk dari utang luar negeri, bukan dari surplus perdagangan. Jika aliran modal keluar lebih besar dari arus masuk, maka rupiah dapat terus melemah. Hal ini semakin rumit dengan kenaikan utang luar negeri pemerintah dan pembayaran bunga yang membengkak akibat pelemahan rupiah.

 

“Ketergantungan ekonomi Indonesia pada investasi asing, termasuk dalam proyek infrastruktur yang hasilnya justru dinikmati investor asing. Selain itu, proyek Danantara yang diharapkan dapat menarik investasi asing justru berpotensi tidak efektif dan dapat membebani APBN lebih dalam. Menurutnya, pembangunan ekonomi seharusnya lebih banyak melibatkan pengusaha lokal dan memperkuat kelas menengah untuk menciptakan ekonomi yang lebih stabil,” ungjkapnya.

 

“Jika rupiah benar-benar menembus Rp17.000 per dolar AS, dampaknya akan terasa pada inflasi impor (imported inflation) yang dapat menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, dan menambah beban utang luar negeri. Kondisi ini bisa memperparah situasi ekonomi, meningkatkan risiko kebangkrutan korporasi, PHK massal, dan memicu krisis ekonomi seperti tahun 1998,” lanjutnya.

 

Secara keseluruhan, Antoni menegaskan bahwa jika pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan secara serius, pelemahan rupiah hingga Rp17.000 per dolar AS hanya masalah waktu. Pemerintah perlu memperbaiki fundamental ekonomi, meningkatkan ekspor, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta investasi asing yang berisiko. Ingin tahu lengkap dialog tersebut, simak di link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=8UHddALLTvE

 

 
Copyright © 2025 CYBERSBI

cyberSBI